kerajaan buton yang agung kerajaan buton yang agung | Pejaten Park | Pejaten Park Residence | Apartemen Pejaten Park

kerajaan buton yang agung

Posted by Raka Satria Mencari Cpanel on Wednesday, December 19, 2012



Buton, Pulau Aspal dengan Kerajaan yang Agung Nama Pulau Buton sempat mengisi media massa, kalau dulu karena produksi aspalnya kini karena ratusan gempa yang terus menerus mengguncang Buton.

Setelah musim gempa usai, mengunjungi Buton tentu bisa menjadi pilihan karena pulau ini memiliki sejarah budaya dan keindahan alam tersendiri dan layak untuk dikunjungi.


Buton, Pulau Aspal dengan Kerajaan yang Agung Nama Pulau Buton sempat mengisi media massa, kalau dulu karena produksi aspalnya kini karena ratusan gempa yang terus menerus mengguncang Buton.

Setelah musim gempa usai, mengunjungi Buton tentu bisa menjadi pilihan karena pulau ini memiliki sejarah budaya dan keindahan alam tersendiri dan layak untuk dikunjungi. Penulis cukup beruntung bisa menginjakkan kaki di Pulau Buton saat mengikuti Tim Ekspedisi Wallacea dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu, yang bertolak menggunakan kapal Phinisi Cinta Laut dari Pelabuhan Bau-bau menuju ke Pulau Kabaena. Pulau Buton dengan ibu kota Bau-bau dalam sejarahnya, merupakan kota kerajaan Sultan Wolio yang memerintah di kawasan Buton dan pulau-pulau sekitarnya seperti Muna, Kabaena, Wowini dan Pulau Tukang Besi.

Dalam masa pemerintahannya, para raja Buton biasa melakukan kerja sama kenegaraan dengan Kerajaan Cina dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Kepala Seksi Sarana dan Jasa Dinas Pariwisata Kota Bau-bau, Ali Arham, mengungkapkan, penduduk Buton berasal dari Semenanjung Tanah Melayu di Johor yang datang menggunakan perahu ke Pulau tersebut pada abad ke-13. Ali mengungkapkan, keyakinan bahwa leluhur Buton datang dari Johor adalah karena di Johor juga terdapat kampung bernama Woloan. Saat itu, ada empat kelompok yang mendarat di Buton. Dua kelompok mendarat di Buton barat dan dua rombongan mendarat di utara. Kelompok pertama langsung mendirikan kampung Wolio, yang mengambil nama dari Kampung Woloan, katanya. Empat rombongan tersebut kemudian beranak pinak dan membuat kampung-kampung baru, seperti Kampung Gundu, Kampung Balu, Kampung Peropa dan Kampung Barangkatopa. "Seluruh kampung itu masih ada dan namanya tetap sama hingga sekarang," ujar Ali.

Setelah menjadi kampung yang cukup besar, warga Buton kemudian mengangkat Ratu Pertama, bernama Wakaka. Bambu Kuning Pemerintahan pertama tersebut dipilih berdasarkan musyawarah mufakat antara 4 tokoh adat. Wakaka yang merupakan seorang perempuan dipilih karena dianggap memiliki kepribadian dan sifat pemimpin yang layak, katanya. Nama Wakaka menurut Ali, berarti keluar dari Bambu Kuning. Dalam sejarah hikayat Buton, dikatakan ratu memang lahir dari pohon bambu kuning, tapi ada juga ahli sejarah yang mengatakan nama itu disandang karena saat dilantik menjadi ratu, ia diusung di atas tandu kebesaran yang dibuat dari bambu kuning yang memang banyak tumbuh di sini, katanya.

Situs Pelantikan Wakaka sebagai Ratu Buton yang dilantik pada abad 13 tersebut hingga kini masih ada, yaitu berupa sebuah lubang yang saat diambil sumpah, kaki Ratu dimasukkan ke lubang sambil dipayungi. Prosesi pelantikannya sangat unik. Warga Buton saat itu masih memeluk agama Hindu, sehingga lubang tersebut adalah perlambang dari Yoni, sebuah simbol suci agama Hindu. Saat memasukkan kakinya ke lubang, calon Ratu harus mengambil sumpah yang menyatakan ia akan memerintah negeri dengan baik dan tidak akan menjual tanah airnya untuk kepentingan sendiri. Sementara mengambil sumpah, petugas yang memegang payung akan memutarkan payung di atas kepala calon ratu, katanya.

Setelah diambil sumpah, Raja kemudian dimandikan dengan air suci di dekat situs pelantikan yang hingga kini masih mengalir airnya. Menurut Ali, di dekat mata air, sebenarnya ada lingga yang merupakan simbol suci Hindu yang melambangkan laki-laki serta patung berbentuk manusia. Karena takut dipergunakan untuk hal-hal yang tidak jelas, maka patung manusia diangkat dari sana, katanya tanpa menjelaskan ke mana patung tersebut dipindahkan. Meski berbentuk kerajaan, sejak lama Kerajaan Buton sudah menganut sistem demokrasi parlemen dan memiliki konstitusi yang harus dipatuhi oleh seluruh warga, termasuk ratu atau raja Buton. Saking taatnya mereka pada undang-undang, sehingga ketika parlemen menemukan fakta bahwa raja melakukan kesalahan, maka raja pun bisa dijatuhi hukuman mati. Ini terjadi pada Sultan Mardan Ali yang memerintah pada abad ke-17. Ia dihukum mati karena melanggar sumpah yang berbunyi tidak akan mengganggu isteri orang lain, katanya.

Hukuman mati untuk Raja Ali sangat mengerikan karena saat itu cara menghukum mati adalah terhukum dipendam di dalam tanah hingga batas kepala, kemudian 40 orang berbaris satu-satu sambil melemparkan batu pada terhukum. Bila terhukum kuat menanggung deraan 40 buah batu yang dilemparkan, ia dianggap telah menanggung hukuman dan bebas untuk pergi, namun jika tidak maka ia tewas dan tinggal menunggu malaikat pencabut nyawa menjemputnya, ujar Ali.

 Selain hukuman adat tentang tata susila, kerajaan Buton juga memiliki Hukum Kedaulatan Rampe yang dibuat oleh Kerajaan Buton, dimana barang yang terdampar di Perairan dan Pantai Buton merupakan milik Kerajaan Buton. Empat Aturan Dalam hidup bernegara dan berbangsa mereka memegang teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata somanamo karo artinya, korbankan harta demi keselamatan diri. Kemudian inda inda mo karo somana mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian inda inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang penting pemerintahan. (Dalam hal ini, Ali mencontohkan pengobanan Soekarno yang menyingkir ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi demi menyelamatkan pemerintahan negara). Terakhir adalah inda inda mo syara somanamu agama artinya biarlah pemerintahan hancur yang penting agama. Falsafah perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan orang atau negara yang bersangkutan, katanya. Selain falsafah negara, mereka punya falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka, artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya tiap manusia harus saling menyayangi, po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling menghargai dan po pia piara artinya tiap manusia harus saling memelihara. Karena falsafah ini maka pasangan suami istri di Buton sangat awet dan takut sekali bercerai, ujarnya.

Dalam masa pemerintahannya, Kerajaan Buton sempat mengalami transisi yaitu karena masuknya pengaruh ajaran Islam. Raja kemudian menobatkan dirinya sebagai sultan dan di tempat pentasbisan raja yang berupa Yoni, kemudian dibangun sebuah masjid yang merupakan masjid pertama yang ada di Pulau Buton. Masjid ini dibangun pada tahun 1712 pada masa pemerintahan Sultan Ke-19. Bangunannya berbentuk bangunan Indonesia Asli dan ada mitos bahwa di Masjid ini ada lubang pusat bumi yang bisa membuat orang menghilang, katanya. Lubang itu, menurut Ali hanya mitos belaka, sebab sesungguhnya lubang yang dipercaya sebagai pusat bumi adalah sebuah terowongan yang vertikal dan memiliki jalan tembus di kawasan pantai Buton. Sekarang gua tersebut sudah tidak dibuka lagi karena khawatir sudah rapuh. Sebenarnya gua berukuran 2 x 2 m ini adalah sebuah terowongan yang memiliki jalan tembus.

Saat masa penjajahan Belanda, jika ada penyerangan ke kota, warga menyelamatkan diri ke dalam masjid dan lari keluar melalui lorong rahasia tersebut. Karena banyak yang tidak tahu maka keluarlah mitos bahwa masjid merupakan titik pusat bumi yang bisa membuat orang hilang atau menghilang, katanya tertawa. Rumah Adat Keluarga kerajaan Buton, menurut Ali tinggal di dalam istana atau rumah adat yang disebut Malige yang sekarang menjadi musium dan pusat kebudayaan Wolio. Rumah adat Wolio dibangun ibarat tubuh manusia yang memiliki kepala, badan dan kaki. Orang Buton memiliki tradisi memberi lubang rahasia pada kayu terbaiknya untuk diberi emas dan menyimbolkan lubang rahasia tersebut sebagai pusar yang merupakan titik central tubuh manusia, katanya. Emas tersebut menurutnya, sebagai perlambang bahwa rumah memiliki hati. Bagi adat Wolio, hati adalah laksana intan pada manusia.

Di Bau-bau, benteng keraton yang terletak sekitar 3 km dari pusat kota terlihat mencolok dan menarik mata. Menurut Ali benteng ini dibangun pada masa 4 kesultanan. Pembangun benteng pertama adalah sultan ke 3 yaitu Sultan Mangkekuna yang membangun kubu pertahanan (bastion) di empat sudut keraton. Kemudian dilanjutkan oleh sultan ke 4, yaitu Sultan Laelangi yang menghubungkan antar bastion. Sultan ke-5, yaitu Sultan Abdul Wahab melanjutkan pembangunan penambahan bastion dan sultan keenam merampungkan seluruh benteng. Benteng yang dibuat dari batu-batu gunung dengan perekat pasir, kapur dan putih telur itu akhirnya selesai dalam jangka waktu 50 tahun dengan keliling benteng mencapai 2.740 m dengan ketebalan 1-2 meter dan tinggi 2-8 meter, dilengkapi dengan 12 pintu masuk untuk penduduk, 16 bastion yang dijaga prajurit dan dilengkapi 52 meriam. Selain benteng, sultan juga menanam tumbuhan sudu-sudu yang berduri seperti kaktus di sepanjang benteng. Jika kulit manusia tertusuk tumbuhan ini maka akan mengakibatkan gatal dan rasa sakit yang lumayan. Tumbuhan sudu-sudu adalah tumbuhan asli Buton, tambahnya. Di sekitar benteng, bisa terlihat sebuah tiang bendera yang sudah tampak sangat tua. Ali mengungkakan tiang itu dibuat dari kayu jati asli dan dibangun pada 1712.

Kayu jati masih awet hingga 300 tahun karena dia dibangun di atas batu dan tidak menempel ke tanah sehingga kayu selalu kering. Tiang ini digunakan untuk mengibarkan bendera Kerajaan Buton yang disebut longa-longa artinya berwarna warni, selain itu juga sempat mengibarkan bendera Kerajaan Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih hingga sekarang, katanya. Ali mengungkapkan tiang bendera ini pernah tersambar petir sehingga patah menjadi dua namun disambung dengan menggunakan besi baja sehingga bisa berdiri lagi. Selain situs kerajaan, pantai Buton juga indah. Yang paling indah adalah pantai Nirwana, yang terletak sekitar 12 Km dari Bau Bau. Pantai Nirwana mempunyai pasir putih dan laut yang jernih sehingga bila terkena sinar matahari memantulkan warna hijau kebiru-biruan yang cantik. Wisatawan biasanya bermain datang untuk menikmati matahari terbit dan terbenam serta berenang dan melakukan olahraga air.